A. Kedudukan Hakim Secara Formal
Kedudukan hakim telah diatur didalam undang – undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diubah dengan undang – undang No. 35 tahun 1999, undang – undang tersebut didasarkan pada UUD- 1945 pasal 24 dan 25 beserta penjelasannya, sebagaimana telah diubah dengaan perubahan ke 3 tanggal 9 november 2001[1]. Selanjutnya ketentuan – ketentuan pokok tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam undang – undang tentang mahkamah agung maupun undang – undang tentgang peradilan umum juga tata usaha Negara dan peradilan militer.
Dalam fungsi dan tugas tersebut, Hakim berkedudukan sebagai pejabat Negara sebagaimana diatur dalam undang – undang No.8 tahun 1974, sebagaimana telah di ubah dengan undang – undang No.43 tahun 1999 tentang pokok – pokok kepegawaian.
B. Kontroversi Kedudukan Hakim
Kedudukan sebagai pemberi keadilan itu sangat mulia, sebab dapat dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha Esa Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-NYA. Disamping itu hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat[2].
Namun walaupun begitu hakim tetap manusia biasa yang bisa salah, keliru, dan khilaf. Dalam ke khilafan, orang mempunyai niat yang baik tapi pelaksanaan melakukan kealpaan. Dalam kekeliruan, orang mempunyai niat yang baik tapi pengetahuannya tidak baik, sehingga pelakjsanaan nya kliru. Dalam pelaksanaan nya terkadang kesalahan terjadi karena adanya niatan yang tidak baik walaupun pengetahuannya sebenarnya baik, sehingga dalam pelaksanaan nya secara sadar melakukan kesalahan.
C. Fungsi dan Tugas Hakim
Berdasarkan keturunan-keturunan formal tersebut fungsi dan tugas hakim adalah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili.
Kata mengadili merupakan ru,musan yang sederhana, namun didalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan suatu hal secara adil atau memberikan keadilan. Pemberian kadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat tekhnis profesional dan harus bersifat non politis serta non pertisan. Peradilan dilakukan sesuai standart profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.
Mengenai Kekuasaan Kehakiman, secara mendasar telah dijelaskan pada Pasal 24 UUD NRI 1945, yang menyatakan:
(1)Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
D. Kode Etik Profesi Hakim
Sebagai salah satu upaya mewujudkan fungsi dan tugas hakim, dusun kode etik profesi hakim oleh IKAHI yang merupakan pedoman prilaku. Naskah lengkap kode etik profesi hakim sebagaimana dirumuskan dalam Munas XIII di bandung tahun2001.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk dari profesi hokum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. “etika” berasal dari bahasa yunani, ethos dalam kamus Webster new world dictionary, etika didefinisikan sebagai “the characteristic and distinguishing attitudes, habits, belive, etc, of an individual or of group”[3] . dengan kata lain, etika merupakan system nilai-nilai dan norma-normna yang berlaku yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkahlakunya.
Istilah etika sering dikaitkan dengan tindakan yang baik atau etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tgentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Sedang profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan, kejujuran tertentu.
Sedangkan kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai suatu landasan tingkah laku. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal etika moral yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan dalam hal ini profesi hukum ( hakim).
Istilah profesi dalam kamus Webster new world dictionary didefinisikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang memerlukan pendidikan atau latihan yang maju dan melibatkan keahlian intelektual, seperti dalam bidang obat-obatan, hokum, teologi, engineering dan sebagainya. Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang dilakukan dengan cara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan.
Berdasarkan rumusan diatas, jabatan hakim adalah suatu profesi, karena memenuhi kriteria-kriteria. Pekerjaan tetap, bidang tertentu, berdasarkan keahlian khusus, dilakukan secara bertanggung jawab dan memperoleh penghasilan.
Profesi dibedakan pula menjadi profesi biasa dan profesi luhur. Profesi biasa adalah profesi biasa pada umunya sedangkan profesi luhur adalah profesi yang pada hakikanya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Selanjutnya untuk melaksanakan profesi yang luhur secara baik dianut moralitas yang tinggi, dan tanggungjawab dari pelakunya.
Etika profesi memiliki kaedah-kaedah pokok[4]:
profesi haaarus dipandang sebagai pelayanan dan oleh karena itu sifat tanpa pamrih menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi
pelayanan professional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur
pengembangan profesi harus selalu berorientasi pada pada masyarakat sebagai keseluruhan
persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengembangan profesi
profesi hakim mempunyai kedudukan dan tugas khusus karena fungsinya tersebut memerlukan persyaratan-persyaratan khusus dan lebih berat. hukum mengatur tindakan-tindakan manusia yang nyata dan harus mendasarkan pengertiannya dan pengaturannya pada tindakan-tindakan nyata pula.
Etika profesi, kode etik hakim bersifat universal, terdapat di Negara manapun dan dimasa yang lalu karena mengatur nilai-nilai moral kaedah-kaedah penuntun dan aturan prilaku yang seharusnya dan seyogyanya dipegang teguh oleh seorang hakim dalam menjalankan tugas profesinya.
Tujuan akhir atau filosofi seorang hakim ialah ditegakkannya keadilan keadilan ilahi karena ia memutus dengan didahuluinya sumpah dan Demi Keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa[5]. Cita hukum keadilan yang terdapat di dalam “das solen” melalui nilai-nilai etika profesi/kode etik hukum.
E. Kewajiban dan Larangan Hakim
Kewajiban:
1. Mendengar dan memperlakukan kedua belah pihak berpekara secara berimbang dengan tidak memihak (impartial). Ketidak berpihakan seorang hakim terhadap pihak-pihak yang berp[erkara tidak boleh terpengaruh karena adanya hubungan keluarga, teman baik, karena pihak yang dihadapi tokoh masyarakat, ataupun ketidak berpihakan disebabkan oleh adanya tawaran-tawaran materi.
2. Sopan dalam bertutur dan bertindak. Tindakan dan tutur kata yang sopan tidak hanya di tunjukan dalam kerangka menjalankan tugasnya osebagai hakim tetapi juga dalam hubungan dan interaksi dengan masyarakat.
3. Memeriksa perkara dengan arif, cermat dan sabar. Hal ini akan menghindarkan hakim dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil keputusan, karena setiap persoalan yang dihadapi selalu diplajari dengan cermat dan penuh kehati-hatian.
4. Memutus perkara berdasarkan atas hokum dan rasa keadilan. Keputusan diambil bukan karena pertimbangan suka atau tidak suka tetapi betul-betul didasarkan atas aturan hokum yang ada. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya penegakan supremasi hokum. Sedangkan rasa keadilan bahwa orang-orang yang tertindas, tidak berdaya dan selalu menjadi korban atas berbagai bentuk kesewenang-wenangan secara moral harus diperjuangkan, tanpa melihat posisi dan kedudukannya sebagai warganegara.
5. Menjaga martabat, kedudukan dan kehormatan hakim. Seorang hakim harus mampu menghindari tindakan-tindakan negative yang dapat merusak citra profesi hakim di masyarakat.
Larangan:
Hal-hal yang tidak diperbolehkan seorang hakim dalam menjalankan profesinya yaitu:
1. Melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani.
2. Menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berperkara.
3. Membicarakn suatu perkara yang ditanganinya diluar persidangan.
4 Mengeluarkan pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan maupun diluar persidangan mendahului putusan.
5. Melecehkan sesama hakim,jaksa, penasehat hokum,para pihak berperkara, ataupun pihak lain.
6. Memberikan komentar terbuka atas putusan hakim lain, kecuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah.
7. Menjadi anggota partai politik dan pekerjaan/jabatan yang dilarang undang-undang.
8. Mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi maupun kelompok
F. Hambatan dan Kendala dalam penegakan aturan kejahatan profesi hakim
Dalam kenyataan di masyarakat, sering terjadi penyalahgunaan profesi. Begitu juga profesi Hakim. Terjadinya penyalahgunaan profesi ditengah masyarakat disebabkan adanya faktor kepentingan. Menurut Sumaryono, penyalahgunaan profesi disebabkan karena persaingan individu dan tidak adanya disiplin diri.
Adapun hambatan dan kendala bagi profesi hakim adalah :
•) Masih adanya hakim yang mempunyai nilai agama dan moral yang rendah
•) Masih adanya hakim yang kurang profesional dalam menjalankan tugasnya.
•) Masih adanya hakim yang tidak memiliki kesadaran dan kepedulian sosial.
Penerapan kode etik profesi hakim juga mengandung kelemahan-kelemahan diantaranya :
•) Idealisme yang terkandung dalam kode etik hakim tidak sejalan dengan fakta yang terjadi . Kode Etik Hakim tidak lebih hanya lukisan berbingkai
•) Kode etik hakim merupakan himpunan norma moral, namun masih dirasa kurang tegas, karena memiliki sanksi yang lemah. Sehingga masih ada peluang untuk hakim untuk menyimpang dari kode etik hakim.