A. Pengertian konsumen
Konsumen
secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang
yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang
dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa.
B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum
perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan
terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum
Perlindungan Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya,
permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan
kebutuhan barang / jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan
konsumen untuk disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan.
RUU ini sendiri baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya
masalah perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik
jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa
haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum
tersebut bisa menjadi landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan
perlindungan konsumen. Di samping UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat
sejumlah perangkat hukum lain yang juga bisa dijadikan sebagai sumber atau
dasar hukum sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
C. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan
UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen
disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian
hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang
khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang
selalu merugikan hak
konsumen.Dengan
adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen
memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau
menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku
usaha.
Perlindungan
konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum
terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup
dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara
keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau
jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila
dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang
perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi
barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena
kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang
dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain,
kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku
usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang
lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta
penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama
yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya
masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.
Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan
hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan
pendidikan konsumen.
Upaya
pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha
yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial
merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar
kondisi sebagaimana dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen
secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di
masyarakat.
Piranti
hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong
iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam
menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping
itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap
memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi
pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik
Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang
Dasar 1945.
Disamping
itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan
awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah
ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen,
seperti:
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
- Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World
Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan
konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI)
tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah
diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian
juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian
hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian,
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang
mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
konsumen.
D. Asas dan Tujuan Perlindungan
Konsumen
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang
telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
- Asas manfaat
Maksud asas
ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi
kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
- Asas keadilan
Asas ini
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
- Asas keseimbangan
Asas ini
dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan
dan keselamatan konsumen.
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
- Asas kepastian hukum
Asas ini
dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin
kepastian hukum.
E. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU
Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan
konsumen adalah sebagai berikut.
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
F. Hak dan Kewajiban Konsumen
1. Hak-Hak Konsumen
Sebagai
pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan
tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai
konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan
yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.
Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa
hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan
UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping
hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam
pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak
merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak
konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering
dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ”
persaingan curang”.
Di Indonesia
persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti
telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur
tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab
IX, X, dan XI).
2. Kewajiban Konsumen
Kewajiban
Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban
Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
G. Prinsip-Prinsip perlindungan
konsumen
1. Prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung
jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat
subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen.
Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap
hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori
tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen
merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian
kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan
ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti,
yaitu :
- Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
- Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
- Konsumen penderita kerugian.
2. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain
mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga
memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung
jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab
berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian,
konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang
merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi
konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang
sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang
telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen
telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka
produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi,
dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa
kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen,
yaitu :
- Pembatasan waktu gugatan.
- Persyaratan pemberitahuan.
- Kemungkinan adanya bantahan.
- Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
3. Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas
tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut
prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict
liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis
dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya
perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan
kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini,
maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau
tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau
tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product
liability adalah :
- Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
- Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar