“Cinta Bukanlah Disalurkan Lewat Pacaran”
Asslamu’alaikum
warohmatullohi wabarokaatuh..
Yang
saya hormati Bapak dewan guru, teman-teman seiman dan seagama yang saya cintai
Untuk mengawali jumpa kita saat ini, terlebih dahulu kita semua panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt, karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sampai saat ini kita masih ditakdirkan oleh Allah swt, menjadi orang iman dan islam. Mudah-mudahan nikmat iman dan Islam ini benar-benar kita memiliki sampai akhir hayat.
Untuk mengawali jumpa kita saat ini, terlebih dahulu kita semua panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt, karena dengan limpahan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sampai saat ini kita masih ditakdirkan oleh Allah swt, menjadi orang iman dan islam. Mudah-mudahan nikmat iman dan Islam ini benar-benar kita memiliki sampai akhir hayat.
Shalawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad saw, karena
beliaulah yang memperjuangkan Islam sampai ke penjuru pelosok dunia, sehingga
kita bisa membedakan perkara yang haq dan yang bathil, sehingga menjadi muslim
, berkat hidayah Allah swt. Semoga kita termasuk umat beliaw Nabi Muhammad saw.
Cinta kepada
lain jenis merupakan hal yang fitrah bagi manusia. Karena sebab cintalah,
keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala
menjadikan wanita sebagai perhiasan dunia dan kenikmatan bagi penghuni surga.
Islam sebagai agama yang sempurna juga telah mengatur bagaimana menyalurkan
fitrah cinta tersebut dalam syariatnya yang rahmatan lil ‘alamin. Namun,
bagaimanakah jika cinta itu disalurkan melalui cara yang tidak syar`i? Fenomena
itulah yang melanda hampir sebagian besar anak muda saat ini. Penyaluran cinta
ala mereka biasa disebut dengan pacaran. Berikut adalah beberapa
tinjauan syari’at Islam mengenai pacaran.
Ajaran Islam Melarang Mendekati Zina
Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang
buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani dalam Fathul Qodir mengatakan, ”Apabila perantara kepada sesuatu saja dilarang, tentu saja tujuannya juga haram dilihat dari maksud pembicaraan.”
Dilihat dari
perkataan Asy Syaukani ini, maka kita dapat simpulkan bahwa setiap jalan
(perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang,
berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan
jenis karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang
terlarang.
Islam Memerintahkan untuk Menundukkan Pandangan
Allah
memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan
jenis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada laki–laki
yang beriman : ”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara
kemaluannya.” (QS. An Nuur [24]: 30 )
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24]: 31)
Ibnu Katsir
ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan
perintah Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan
pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada
apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahromnya).
Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika
memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja,
maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.”
Ketika
menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan, ”Firman Allah
(yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah
mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya
dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya.
Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita
melihat laki-laki lain (selain suami atau mahromnya, pen) baik dengan syahwat
dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya
melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.”
Lalu
bagaimana jika kita tidak sengaja memandang lawan jenis?
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)
Faedah dari
menundukkan pandangan, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat An Nur ayat 30
(yang artinya) “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” yaitu
dengan menundukkan pandangan akan lebih membersihkan hati dan lebih menjaga
agama orang-orang yang beriman. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Katsir
–semoga Allah merahmati beliau- ketika menafsirkan ayat ini. –Semoga kita
dimudahkan oleh Allah untuk menundukkan pandangan sehingga hati dan agama kita
selalu terjaga kesuciannya-
Agama Islam Melarang Berduaan dengan Lawan Jenis
Dari Ibnu
Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama
mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Termasuk
yang Dilarang
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam
telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak
bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan
atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan
jenis -yang bukan istri atau mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini
berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan
kaedah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul
Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i)
Meninjau Fenomena Pacaran
Setelah
pemaparan di atas, jika kita meninjau fenomena pacaran saat ini pasti ada
perbuatan-perbuatan yang dilarang di atas. Kita dapat melihat bahwa bentuk
pacaran bisa mendekati zina. Semula diawali dengan pandangan mata terlebih
dahulu. Lalu pandangan itu mengendap di hati. Kemudian timbul hasrat untuk
jalan berdua. Lalu berani berdua-duan di tempat yang sepi. Setelah itu
bersentuhan dengan pasangan. Lalu dilanjutkan dengan ciuman. Akhirnya, sebagai
pembuktian cinta dibuktikan dengan berzina. –Naudzu billahi min dzalik-.
Lalu pintu mana lagi paling lebar dan paling dekat dengan ruang perzinaan
melebihi pintu pacaran?
Mungkinkah ada pacaran Islami? Sungguh, pacaran yang
dilakukan saat ini bahkan yang dilabeli dengan ’pacaran Islami’ tidak mungkin
bisa terhindar dari larangan-larangan di atas. Renungkanlah hal ini!
Mustahil Ada Pacaran Islami
Salah
seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu,
maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah– berzina.
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah– berzina.
Nuansa
berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum
muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap
menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal
jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu
sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah
dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon
istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai
pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan
perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih
intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng,
jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang
jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram,
bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila
kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya
istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu
di tenggak di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan
sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli
nama-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlalu dipaksakan, dan sama sekali
tidak bermanfaat.
Pacaran Terbaik adalah Setelah Nikah
Islam yang
sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur
dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga
bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon
pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan
percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta
bualan.
Dari Ibnu
Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak
pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal
pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati
akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.
Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta
menjauhi larangan-Nya. Allahumma inna nas’aluka ’ilman nafi’a wa rizqon
thoyyiban wa ’amalan mutaqobbbalan. [Muhammad Abduh Tuasikal]
Sekian dakwah dari saya pada pertemuan kali ini, semoga
bermanfaat. Wasalamualaikum, Wr.Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar